Posted by : Kikye Octhaviananda Feb 15, 2012

Seorang bayi malaikat tumbuh besar di kehidupannya yang kelam. Dia hanya memiliki sepasang sayap kecil dan dia tak kuat untuk terbang jauh lebih tinggi. Kini dia beranjak besar, dia tumbuh menjadi malaikat yang sempurna. Dia memiliki banyak kelebihan yang membuat dia mencoba terbang lebih lebih dan lebih tinggi lagi. Sampai akhirnya sayapnya tak kuat melawan kencangnya angin dan dia terjatuh. Kerasnya hidup ini membuat separuh sayapnya luka dan tak dapat digunakan. Dia hanya dapat menangis memikirkan keegoisannya. And it’s...


Half-Wing Angel


Kita ini hanyalah manusia biasa yang takkan lepas dari dosa. Kita hanya dapat memilih jalan yang paling baik untuk kita sendiri.  Jangankan hidup, selanjutnya yang akan terjadi saja kita tidak tahu. Hanya akan berusaha untuk menjadi diri kita sendiri.
Aku, berawal dari tangisan masa kecilku yang mengerikan, aku bangkit dengan kekurangan dihidupku. Aku hanya seperti malaikat kecil yang lemah. Buruk memang, tapi aku tak sendiri. Aku bersama mereka, mereka yang sama sepertiku.
“Angel, kamu dimana?” kata ibu Yoshep yang merawat aku di panti asuhan. “Aku tidak mau pergi !” kataku dengan keras. Aku menolak tawaran yang diberikan orang - orang itu - pengadopsiku. Rasanya mereka sangatlah asing.
“Aku sudah terbiasa hidup disini bu. Biarlah aku tetap disini...” jawabku. Sejenak Bu Yoshep terdiam dari alunan teriakannya yang membisingkan telingaku. Langkah kaki yang mencariku seakan menghilang.
Akupun terdiam dan bertanya - tanya dalam hatiku mengapa? tapi aku tak tahu. Yang ada di benakku kali ini hanyalah keegoisanku. Aku menangis karena ego ini. Teringat aku akan seorang wanita, yang merawatku selama 15 tahun, yang memberiku obat saat ku jatuh sakit, yang mengajariku segala hal, yang mengenalkan aku pada dunia - sekalipun sangat mengerikan. Aku hanya dapat menangis saat itu. Langkah kaki itu mendekat kearahku dan “Angel, ini sudah waktunya kamu hidup bahagia dengan orang tuamu, sekalipun hanya orang tua angkat. Tapi mereka akan menyayangimu seperti ibu kandungmu menyayangimu nak.” Kata Bu Yoshep.
“Akankah ?” jawabku. “Tenang saja, aku berjanji. Datanglah kemari kalau kau ingin menagih janjiku.” Kata - katanya membuat tangisanku berhenti, seolah jaminan itu telah kuterima. Akupun berjalan menemui orang tua asuhku. Mereka tampak senang melihatku. Tatapannya yang penuh harap seakan pergi setelah Bu Yoshep berkata bahwa aku mau diasuh oleh mereka. Seorang wanita yang akan menjadi ibuku tampak senang dan dia memelukku. Air matanya berjatuhan dipundakku. Akankah kutaruh harapku padanya?
Aku pun dikenalkan kepada rumah mereka, yang aku tahu jauh dari panti asuhanku - jauh sekali. Kim, nama anjing kesayangan mereka. Namaku yang tadinya hanya Angel, sekarang menjadi Angelia Dim - keluarga Dim. Mereka membuatkanku kamar. Mereka mengukir nama Angelia Dim di pinggiran ranjangku.
Ini adalah malam pertama aku tidur bukan di panti asuhan. Pertama kalinya aku tidur sendiri tanpa teman - temanku, makan tanpa teman - temanku, dan melakukan semua hal tanpa teman - temanku. Sedikit berbeda memang, tapi ini demi Bu Yoshep. Kini aku duduk di ruang makan bersama mereka. Aku tahu mereka gugup. “Angie, bagaimana perasaanmu saat pertama kau tinggal dengan kami ?” sahut ayah angkatku. “Hm, menyenangkan. Tanpa mereka, kesepian”
“Apakah itu lelucon, nak?”kata ibu angkatku.
“Tidak juga” jawabku. “Tapi wajahmu mengatakan seperti itu.”katanya menentang perkataanku.
“Baiklah, aku kesepian. Aku tak terbiasa hidup jauh dari teman - temanku. Itu sangat asing bagiku.”
“Taukah kau?” kata ayahku.
“Tau apa? Tau kalau kalian menyayangiku?aku tahu itu.” Sahutku.
“Baiklah baiklah, kau menang. Selama ini kita sangat menginginkan seorang anak perempuan. Anak perempuan kandung kami meninggal saat tragedi kecelakaan itu. Kami menyesal dan memutuskan untuk mengadopsimu. Kamu mirip dengannya. Kamu manis.”kata ayahku. Aku tersedak. “Mirip katamu ?jadi kau mengadopsiku karena aku mirip dengan anak kandungmu?alasan yang logis.”
Mereka terdiam. “Ayolah, aku pasti akan terbiasa dengan ini!”kataku dengan sedikit bentakan. Kini perutku sudah terisi. Aku segera berdiri dan keluar dari ruang makan, aku menuju ke kamarku. Tak lama aku mendengar sedikit keributan. Aku tahu apa yang terjadi dari lubang kunci yang tak tertutup. Disana mereka bertengkar. Kata mereka “Ini semua tidak benar. Seharusnya tak ada dia disini.”
“Tapi aku menginginkannya, aku tahu apa yang aku perbuat.”
“Baiklah, perbuatlah apa yang bagimu baik. Jangan panggil aku kalau kau membutuhkanku ! panggil saja anakmu itu untuk menghapus air matamu ! aku lelah bekerja seharian.”
 “Baiklah Tom. Kalau itu maumu !”
Dia menangis. Tangisan itu, sepertinya aku tahu. Seperti tak asing lagi bagiku. Ibu, dia menangis. Akupun keluar. Hatiku tak tahan melihat dia menangis, aku bimbang. Seperti aku pernah mendengar tangisan ibu kandungku sebelumnya. Kembali teringat wajah penuh harap Bu Yoshep. Aduh... semua itu membuatku jenuh - sangat jenuh. Perlahan aku mendekati dia yang sedang terduduk diruang tamu. “Ibu...” kataku perlahan. Secepatnya dia menghusap air matanya dan berbalik ke arahku. “Angie, hai,hm kau belum tidur nak?”
“Akankah seorang anak tidur saat dongeng keceriaan menjadi sad ending? Maksudku, ada apa dengan kalian. Aku senang tinggal disini, aku belum punya orang tua yang benar - benar menyayangiku seperti kalian. Maafkan aku telah membuat kalian begini. Aku tak bermaksud untuk...”
“Baiklah, aku mengerti. Lagipula ini bukan kesalahanmu. Ini masalah aku dan ayahmu. Sekarang tidurlah, Little Angie ku. Besok, akan kuantar kau ke sekolah barumu.”
“Oke oke mom” dia mengantarku sampai aku benar - benar tertidur. Yah, aku belum mau tidur, aku mengintip dari celah mataku yang masih sedikit terbuka. Aku lihat dia memegang sesuatu di tangannya. Seperti bingkai foto berwarna orange. Dia menangis dan memeluk bingkai foto itu. Aku tahu dia sedang kesepian. Ibu...
                                                            
***

Keesokan harinya, cahaya matahari membangunkanku dari mimpiku dan membiarkan cahayanya bersinar didepan mataku. Memberikanku kehangatan – kehangatan seorang ibu. Ibu menyuruhku lekas mandi dan berkumpul di ruang makan untuk sarapan, ya, ini kali pertamaku sekolah diluar panti asuhan. Sedikit gugup melihat ayah angkatku yang kata - katanya ku dengar tadi malam. Sedikit takut, tapi aku menguatkan diriku. Aku percaya.
“Hai nak.” Katanya.
“Hm, hai yah.” Jawabku.
“Apa kabarmu hari ini? maaf kalau semalam kau mendengar keributan kami. Ayah tak bermaksud untuk...”
“Ya, aku juga minta maaf, kalau aku sangat tidak sopan, mungkin aku tak seperti apa yang kau inginkan. Maafkan aku, kau dapat mengembalikanku lagi ke panti jika kau mau.”
 “Tentu saja tidak, kau sekarang adalah anakku, dan takkan ada kata mantan anak dalam kamusku.”


Aku membuang nafas tanda rasa legaku atas sedikit kekhawatiranku. Sekarang, ada lagi kekhawatiran yang mesti aku selesaikan, sekolahku. Huh, aku takut jika mereka tidak senang atas kehadiranku sebagai murid baru.
“Semoga harimu menyenangkan nak ! jangan nakal dengan temanmu ya !” sahut ayah dari mobil.
“Baiklah yah !” jawabku. “Huh, sekarang apa yang harus kulakukan?” kataku bingung - sangat.
                                                            ***

“Hai, kau murid baru disinikan ?” kata seorang cowok manis yang mendatangiku.
 “Menurutmu?” jawabku.
“Hm, kau dipanggil oleh wali kelasku, aku disuruhnya untuk menjemputmu yang tak tahu apa - apa di pintu gerbang sekolah, dan dia adalah kamu ! sudah bagus aku menolongmu. Daripada kamu tersesat, lalu dilihat kakak kelas kalau kamu cewek baru, berjalan sendirian trus......”
“Oke oke, aku memang sedang tidak tahu apa - apa seperti yang kamu katakan.”
“Nah kalau begitu sekarang kamu ikut aku bocah.”
“Hei kamu juga bocah.”
“Ya, setidaknya aku lebih tinggi darimu.”
“Karena kamu cowok bodoh !”
“Memang !” dia sangat menyebalkan.
“Sekarang, dimana kelasmu???” tanyaku dengan nada sedikit tinggi. “Didekat perpustakaan. Sebentar lagi sampai.” Aku tak menyangka dia bakal jadi teman pertamaku. Sangat bawel dan mengerikan, tapi sebagai cowok dia manis.
“Ngomong - ngomong, siapa namamu?” tanyaku. Dia tak menjawab. “Hei, aku sedang bertanya kepada mu bodoh !”
“Stt...diamlah dulu.” Jawabnya.
“Hallo, Kim, ini gandengan barumu ya? Cantik juga. Kenalin ke aku dong.” Kata seorang kakak kelas cowok yang berdiri didepanku.
“Hei, dia bukan cewekku. Dia cuma anak baru yang bawel.” Kata cowok - teman baruku.
 “Hah? Namamu Kim” aku bingung.
“Diamlah pendek. Minggir Sid! Aku mau ke kelas, jangan halangi aku.”kata Kim.
Hah??? dia memanggilku pendek? Untuk pertama kali ada yang memanggil aku pendek. Sial. “Wetts, bagaimana kalau dia untukku Kim ?”kata kakak kelas itu.
“Huhh” Kim menarik tanganku dan berjalan lumayan cepat kearah kelas disana. Aku tersenyum melihat sebuah tangan besar sedang menggenggam tanganku. Lucu sekali, dan tentu saja, hangat... Aku merasa... Aman...

                                                            ***

“Ini dia.” Kata seorang guru yang sedang duduk didepan kelas. Semua murid melihat kearahku. Dengan wajah penuh tanya - aku dapat merasakannya. Disana aku melihat beberapa orang tertawa, cemberut dan non ekspresi. “Terimakasih atas bantuannya Kim, silahkan kembali ke tempat dudukmu. Sepertinya teman  -  teman yang lain ingin mengetahui lebih banyak tentang anak baru yang kau jemput.” Kata guru itu. “Sekarang tolong perkenalkan dirimu !” katanya lagi.
“Hmm...” aku gugup. Bahkan rasanya jantungku berhenti berdetak. “Hmm” untung saja aku masih berdiri tegak disini, daripada aku malu setengah mati karena pingsan di hari pertamaku sekolah, apalagi ditempat ini semua anak ribut dan membuat aku merasa dikacangin. “Saya Angelia Dim. Saya pindahan dari sekolah St. Misa.” Semua orang langsung terdiam, aku mendengar sebuah kalimat yang diucapkan oleh salah seorang murid disitu ‘St. Misa ? bukannya itu sekolah anak yatim piatu? Hih...anak asuh toh dia !’ kata  -  kata itu membuat keberanianku ciut. Apa yang harus aku lakukan ya Tuhan? Berilah aku kekuatan. Kulihat Kim disana dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi itu membuatku bertahan dalam kengerian ini.
Guru itu lalu mengijinkan aku untuk memilih tempat duduk. Hah? Tempat duduk ? dimana ? tiba - tiba “Hei Angel, disini kosong.” Teriak seorang cewek yang sepertinya ramah. Aku pun duduk disitu dan tempat dudukku jauh dari Kim. Beberapa waktu setelah aku mulai mengenal mereka satu dengan yang lainnya. Akhirnya sudah waktunya istirahat. Aku lapar. Rasa gugup tadi menghabiskan simpanan makanan ditubuhku.
“Dimana kantinnya?” tanyaku kepada cewek ramah yang bernama June. “Oh, disini...” jawabnya. Astaga, kantinnya lebih besar tiga kali dari kantinku di panti. Wow, menunya juga enak - enak. “Karena kamu anak baru, aku mau nraktir kamu sebuah menu yang luar biasa enaknya disini. Hehehe, mumpung aku ada uang lebih nih...”
“Hah, kamu baik banget June. Lain kali aku bakal bales kebaikanmu.”
“Ahh ngak apa - apa lah sekali - sekali.”
Menu pilihannya pun datang. Tampaknya tidak seenak rasanya memang, tapi aku kenyang karena porsinya lumayan. “Wah, enak makanannya June. Berapa harganya ?”
 “Tujuh ribu Dim”
 “Hey, kenapa memanggilku Dim? Angel ajalah...”
“Dim adalah nama belakangmu yakan?”
“Iya sih. Ya sudahlah, terserah kamu. Yang penting kamu senang.”
 “Hahahahaa” Melihat tawanya, senyum di bibirku pun merekah. Semoga dia teman yang benar-benar baik
Tiba - tiba seseorang datang tanpa diundang. Sepertinya aku pernah liat. Oh ya, aku ingat. Dia kakak kelas yang tadi nyetopin aku dan Kim. Kim? Haha kalau ingat namanya aku jadi ingat anjingku. “Hai anak baru.” Katanya yang setahuku namanya adalah Sid - karena tadi dipanggil begitu oleh Kim.
“Ya?” jawabku.
“Kudengar namamu Angel ya?nama yang bagus...”
“So, ada perlu apa denganku? Aku tidak berhubungan apa - apa dengan Kim oke? Jadi?”lanjutku mempertegas.
“Stt...”usik June.
“Ada apa June?”tanyaku.
“Nanti saja aku beri tahu.” Jawabnya penuh misteri.
“Hey hey, jangan lupakan keberadaanku ya Angie. Aku Sid Wilson. Ketua OSIS disini, kapten basket dan orang yang populer di sekolah ini. Jadi jangan pernah tidak menghiraukan aku. OK?”katanya penuh kesombongan. Hah? populer? ketua OSIS? Kapten basket? Ya ampun, dia? Pantas saja Kim mengenalnya, diakan populer.
“Terus?” tanyaku.
“Ya aku cuma mau memberi tahu hal penting itu. Kalau kau membutuhkanku, aku diruang OSIS, Angie.” Jawabnya. Sid lalu pergi begitu saja dengan meninggalkan kata - katanya itu dalam ingatanku.
Huh, sombong sekali. Aku juga bisa jadi ketua OSIS, sayangnya aku tidak minat dengan organisasi seperti itu. Tapi jika aku melihat wajah Sid, ada seseorang yang mirip dengannya. Tapi siapa? “Hey June, bukannya tadi kamu mau bicara sesuatu?”
“Tidak. Semua yang ingin aku ceritakan sudah dulu disampaikan oleh Sid. Dia maniskan?”
 “Hah?? Maksudmu?”
“Ti - tidak, lupakanlah !” katanya. Aku hanya diam memikirkan kata - kata June barusan. Manis? Kupikir tidak terlalu. Karena kesombongannya itu aku pikir bahkan dia lebih buruk dari Kim - anjingku.
Pelajaran pun usai. Bel pulangan berbunyi dan semua siswa dikelasku keluar. Astaga, aku lupa jalan menuju gerbang. Aku mendapatkan ide untuk mengikuti seorang anak perempuan yang sepertinya akan pulang. Aku mengikutinya sampai akhirnya dia berhenti disuatu kelas. Astaga. Ini bukan pintu gerbang. Ini hari pertamaku bersekolah dan sekarang aku disini tersesat? Disekolahku sendiri ? sungguh menyedihkan hidupku – kurasa.
“Sekarang apa yang kulakukan? Kalau aku bertemu lagi dengan Sid dan dia..........oh my God ! Help me now !” kataku.
“Hey, apa yang kau lakukan disini? Kau sendirian ?” suara ini? Aku kenal.
“Kim?” aku menoleh dan benar tebakanku.
“Iya, kenapa kamu disini ? masih mau jalan – jalan ? sendirian ? hello...melamun?” katanya sambil menggoyang – goyangkan tangannya didepan mataku.
“Hah ?” kataku sangat bodoh.
“ Forget it !” jawabnya. Dia meninggalkanku. Aku mengejarnya dan berkata “Maaf. Aku bukannya jalan – jalan, aku tersesat, Kim.” Dia menggeleng – gelengkan kepalanya dan tersenyum. Saat melihat senyumnya. Langkah kakiku terdiam. Astaga...
Akhirnya aku pulang dengan ayah yang menjemputku. Aku kembali kerumah – akhirnya. Mereka menanyaiku akan hari ini. Dan aku menceritakan semuanya. Mereka tampak senang dengan ceritaku. “Oh iya, ayah punya sesuatu untukmu.” Katanya.
“Sesuatu? Apa yah ?” tanyaku.
“Ya, anggap saja ini hadiah karena sudah mau menjadi bagian dari keluarga kecil kami oke?”
“Oke !” “Sekarang, tutup matamu.” Aku pun menutup mataku.
“Sekarang buka” katanya. Saat ku buka mataku, aku melihat sebuah kotak dengan gambar handphone di depannya.
“Apa ini?” pertanyaanku yang bodoh.
“Itu handphone sayang.” Kata ibuku.
“Bukan, maksudku, ini untukku ?”
“Tentu saja.” Hah, menakjubkan bagiku. Ini kali pertama aku memiliki handphone pribadiku. Biasanya saja hanya telpon panti asuhan yang terkadang aku angkat.
Kegemaranku adalah mengangkat telepon itu saat berbunyi, menahan rasa ingin tahuku saat seseorang berkata ‘Hallo...’ dan berusaha menjadi manusia yang paling ramah sejagad raya.

                                                            ***

“Wow. Milikku ?”
“Tentu saja. Aku tidak ingin membohongimu. Terimalah.”
“Terima kasih yah”
“Sama – sama nak.” Sepertinya ini handphone mahal. Dengan banyak fitur dan screen touch melengkapi kerennya handphone yang aku cita – citakan. Rencananya jika sukses nanti aku akan membelinya sendiri, eh ternyata sekarang ada di depan mataku. Awesomeee...
Seminggu berlalu dan aku sekarang sudah terbiasa dengan sekolah dan tentunya rumahku ini. Mereka mengganggapku seperti anak mereka sendiri dan aku menikmati hal itu berhubung aku belum pernah mendapat kasih sayang sebanyak ini. Ayah dan ibuku sangat menyayangiku, mereka membelikan apa saja yang aku minta. Mengenalkanku kepada kakek dan nenek, mengajakku jalan – jalan, liburan, dan semua yang membahagiakanku.
Sebulan, dua bulan, setahun, dan dua tahun berikutnya. Sekarang aku tumbuh menjadi anak 17 tahun yang manja. Kehidupanku sangat menyenangkan sampai – sampai aku sudah terbiasa dengan hidup yang serba berkecukupan. Aku terbiasa dengan semua kebutuhanku yang instan. Kini aku malah hampir melupakan semua kehidupan laluku yang jauh dari kasih sayang. Sampai akhirnya hal itu terjadi.
Ibuku hamil dan semua keperluan bukan lagi hanya untukku. Anak dalam kandungannya yang berumur 3 bulan kini mengalahkan kasih sayang ayah untukku. Mereka kini hanya memikirkan anak mereka – anak kandung mereka. “Ayah, bisakah kau mengantarkan aku sekolah? Ini hujan.” Tanyaku.
“Hm maaf Angie. Ayah perlu mengantarkan ibumu ke dokter kandungan. Ini penting. Demi adikmu.”
“Tidakkah kau memikirkan aku ? helllooooo, aku ada disini memerlukanmu yah. Tidakkah kamu memerhatikanku ?????” sahutku. Ayah terdiam sambil memutar – mutarkan kunci mobil di tangannya.
“ Lupakanlah ! aku akan pergi sendiri !” kataku. Aku membanting pintu dan meninggalkan ayah sendiri. Sempat ada penyesalan dalam otakku tapi itu kekesalan itu sudah mengalahkannya.
Kini aku sampai di sekolah dan belajar. Huh waktunya istirahat dan saat aku makan di kantin bersama June. “Angel. Ada apa denganmu? Kamu berbeda dari hari – hari sebelumnya” kata June.
“Oh tidak ada apa – apa. Aku hanya iri dengan keberadaan adikku. Dia mendapatkan kasih sayang yang lebih dari orang tuaku.”
“Ibumu hamil ?”
“Ya.”
“Berita bagus.”
“Bagus apanya ? dia hanya datang untuk merebut kebahagiaanku. Dasar tidak tahu diri !”
“Tapi kan ini anak yang ditunggu-tunggu.”
“Halah ! kamu tuh nggak tau apa-apa tentang hidupku ! bahkan seharusnya kamu membela aku. Bukan anak itu !”
“Loh bukan maksudku untuk bilang kayak gitu Ngel. Elo seharusnya bahagia ngeliat ortu lo bahagia..”
“Haaahhh bawel lo ! udah deh nda usah ngatur gue !” aku beranjak dari tempat dudukku – semua orang dikantin melihat kearah aku dan June. Aku berjalan kekelas dengan tidak tahu bahwa aku melukai perasaan temanku sendiri. aku kini bukanlah aku yang sebenarnya.
Sepanjang pelajaran sisa, aku hanya diam. Pelajaran itu tidak masuk di otakku. Bahkan aku mau muntah. June pun diam. Kita hanya dapat tutup mulut karena kejadian tadi. Perasaanku tidak enak, tapi mau bagaimana, aku juga malas untuk minta maaf. Pikirku dialah yang salah.
Dirumah aku tidak makan dan tidak keluar dari kamarku. Aku sedang nggak mood. Aku bahkan malas untuk menatap wajah mereka. “Angie, ayo keluar dari kamarmu. Ini waktunya makan malam. Angie, sudah dari tadi pagi kamu tidak makan, nak. Angel...” sahut ayahku dari luar. Aku hanya diam. Aku tak ingin menjawab pertanyaannya, aku pikir itu tak penting.
Se-jam setelah panggilan dari ayahku, tidak ada lagi teriakan darinya. Aku hanya dapat menangis. Aku pikir mereka sudah melupakanku. Mereka sekarang pasti sedang bersenang – senang tanpa aku. Sekarang perutku mulai lapar, tapi aku sedang tak ingin makan. Paling mereka hanya meninggalkan sisa – sisa di meja makan untuk ku. Biarlah, biarlah aku disini.
Setelah beberapa jam aku didalam kamar. Aku hanya bisa menangis. Aku pikir jaminan itu harus kudapatkan. Bu Yoshep, kau bohong padaku...
Setelah terlewat dipikiranku nama Bu Yoshep, aku berpikir untuk menagihnya, aku pergi ke panti asuhan malam-malam, aku pergi tanpa di ketahui ayah dan ibuku. Ya, demi kebaikan mereka dan aku. Sepanjang jalan, hanya ada gelap. Tak ada yang berlalu lalang seperti pada siangnya. Jalanan sepi. Aku tak tahu harus kemana. Maksudnya aku tak tahu jalan ke panti asuhan. Ya, aku sudah agak lupa sejak kepergianku kerumah baruku. Akhirnya aku tersesat.
Tak ada seseorang disampingku. Aku duduk di halte dipinggir jalan. Aku sendirian. Dari yang sendirian, kembali ke sendirian. Suara langkah kaki itu datang ketika aku mulai menangis. Semakin keras langkah kaki itu, semakin dekat asal suara. Semakin aku menangis. Aku takut...
Tak kusangka, seseorang memanggil namaku. “Angel ?”. hah ? aku hanya dapat menutup mataku. Ya berharap bukan sesosok makhluk dengan wajah mengerikan dan terbang. Ternyata itu hanya Kim. Aku lega.
“Kim ? kamu kok bisa ada disini ?” kataku sambil mengelap air mataku.
“Seharusnya aku yang tanya. Kamu ngapain disini ? didekat sini banyak orang mabuk. Berbahaya seorang cewek malam-malam nongkrong disini, apa lagi ngeliat kamu yang cuma pake piama begitu.”
“Ya, maaf. aku malas dirumah.”
“Aku tahu.”
“Tahu dari mana ? aku tak ada cerita denganmu...”
“June bercerita kepadaku. Dan melihat hal ini, aku tahu apa yang kamu rasakan.”
“Ya begitulah Kim kalau kau sudah tahu.” Dia terdiam. Dia yang tadinya hanya berdiri, sekarang dia duduk.
Dia bercerita panjang lebar tentang kehidupannya. Dia bercerita tentang keluarganya, ibunya, ayahnya, yang sudah menjadi broken home sejak setahun yang lalu. Aku hanya dapat melongo melihat dia berbicara. Entahlah. Ceritany tak terlalu menjadi pusat perhatianku. Tapi wajahnya. Aku seperti mengenalinya. Ya, Sid.
“Kim, apakah Sid keluargamu ?”
“Ya.” Aku terkejut. “Astaga...”
“kenapa?” tanya Kim.
“Entahlah. Kalian tampak berbeda jika dilihat sifatnya.”
“Hahahaa...”katanya. aku bingung. Kenapa dia tertawa ?? tak tahulah. Tapi mungkin dia tau apa maksudku. Dia meluluhkan hatiku dengan kata-katanya. Akupun mengurungkan niatku untuk pergi ke panti. Dan Kim mengantarkan aku pulang. Ya sampai dirumah, naik jendela dan tidur.
                                                            ***
Keesokan harinya, aku sakit. Perutku seperti melilit dan aku tak dapat beranjak dari ranjangku. Dan saat ku terbangun, aku melihat ayah dan ibu sudah berada disisiku. Ibu menatapku seakan dia mau menangis dan aku tersedak. Dia memegang keningku dan berkata “My Little Angie, kamu sakit, ayo kita ke rumah sakit. Biar kita tahu bagaimana keadaanmu.”.
“Sudahlah, jangan perdulikan aku. Pikirkanlah anakmu saja.”jawabku.
“Anakku? Kamu adalah anakku.”
 “Jangan berusaha membodohiku.”
“Apa yang kamu pikirkan ? Aku tak mengerti !” jawab ibuku.
Mereka saling berpandangan dan aku tahu mereka pasti bingung. Sama sepertiku, aku juga bingung. Apa yang ingin kukatakan tak seperti yang aku rasakan ! ada apa ini ? aku seperti bukan sedang berada dalam diriku yang asli. Pikiranku melayang – pusing, aku seperti habis terjatuh dari tebing yang amat tinggi. Sakit sekali hati ini. Tak ku sangka saat itu aku hanya dapat menutup mataku. Aku tak sanggup menatap mereka. Aku ingin lari. Aku ingin bersembunyi.
“Angie, Angie !!! bangun !!!!!!! Angieeeeeeeeee........................” itulah yang ku dengar sesaat ku menutup mataku.

                                                            ***

Dan akhirnya aku terbangun di sebuah pondok. Aku bingung, kenapa aku berada disini ? aku tak mengenal tempat ini. Sekalipun aku belum pernah kesini. Aku beranjak dari ranjangku dan aku keluar. Sejuknya embun pagi sangat kurasakan. Burung pipit berkicau beralun seperti sebuah lagu. Alunan ini sering terdengar, tapi aku tak tahu kapan. Entahlah, aku seperti amnesia. Aku lupa. Yang kuingat hanyalah aku, Angel.
Aku menuruni pondok itu dan aku berbalik. Pondok itu seperti sudah tak asing lagi dipikiranku. “Apa ini ?” tanyaku. Tak ada yang menjawab – ya aku tahu karena tak ada orang disitu selain aku.
“Pernahkah aku disini ?” tanyaku. Banyak pertanyaan yang aku ucapkan saat itu. aku menutup mataku dan aku berseru “Tolong aku...” suara ku tak kunjung keluar. Kenapa ini ? kenapa aku ? tolong aku !! tak ku dengar suaraku sedikitpun.
Aku berlari dari pondok itu. aku berlari dan terus berlari. Aku menangis. Aku tak sanggup jika aku terus begini. Aku berteriak, namun tak ada yang menjawab. Aku menangis tersedu. Aku seakan menyesal, tapi aku tak tahu apa yang kusesali. Aku tak dapat mengingat apa – apa, sampai aku melihat seorang anak perempuan cantik sedang bermain di tanah lapang. Aku menghampirinya berharap aku dapat menanyainya sesuatu.
“Dik, ini dimana ya ?” tanyaku. Dia tak menjawab pertanyaanku. “Dik, tolong jawab.” Aku menyentuh bahunya. Sangat dingin. “Hey, kamu kedinginan ? ayo cari tempat yang hangat.” Aku mengajaknya ke sebuah pondok terdekat dan membuatkan api unggun. Rasanya sangat hangat. Merasuk ke tubuhku dan membuatku merasa sangat nyaman. Anak itu memandangku dan tersenyum. Senyumnya sangat menyenangkan hatiku, seperti aku telah menolongnya. “Hey dik, dimana orang tuamu ? rumahmu ? keluargamu dimana ? mengapa kau tidak bersama mereka.” Tanyaku. Dia merunduk. “Hm, maaf. aku bukan bermaksud membuatmu sedih.” Dan dia tiba – tiba menjawab
“Tidak apa – apa kak. Terimakasih. Aku tidak tahu dimana rumahku. Saat itu aku sedang berlibur disini dengan keluargaku. Tapi aku lari dan di bawa ke suatu panti asuhan disekitar sini.”
“Lari ? maksudmu ?”
“Aku takut.”
“Takut apa ?”
Dia terdiam – aku juga. Lalu dia menjawab “Aku takut dengan kakakku.” Aku bingung. “Kakakmu ? apa dia  jahat ?” tanyaku.
“Sejak aku mengerti kata – katanya, aku mengerti juga kalau dia tidak menginginkan kehadiranku. Aku tak tahu mengapa, dia selalu memojokkanku. Dia membuatku merasa asing dan aku tidak ingin membuatknya kesal. Beberapa kali dia dimarahi ayahku karena hampir melukai aku. Aku tidak tega. Lebih baik aku lari.”jawabnya sangat detail.
“Hm...begitu rupanya.”
“Iya. Sejak saat itu tidak pernah ada yang mencariku. Dan aku kini sendiri. aku tak punya keluarga.”
“Tidak dik.”
“Maksud kakak ? oh ya, aku punya keluarga. Rumah yatim piatu adalah keluarga besarku. Yang malahan menerimaku apa adanya.”
“Tidak. Kamu salah.”
“Hah ? salah ?”
 “Iya dik. Kamu tidak sendiri. aku juga sama sepertimu. Kini aku ingat semuanya. Aku tinggal di panti itu karena kakakku. Ya, sama sepertimu. Aku tak ingin menyakiti hati kakakku. Karena aku sayang dengannya.”
“Benarkah ? ceritakan lagi kak ! ayolah!”
“Baik baik. Tapi perlu kamu tahu bahwa mereka menyayangimu.”
“Mereka ?”
“Iya, mereka. Ayah, ibu, dan kakakmu menyayangimu. Sesungguhnya kakakmu hanya iri denganmu. Dan aku pun merasakannya dik.” Matanya berkaca – kaca mendengar kata – kataku. “Hey hey, jangan menangis.” Kataku sambil menghusap air matanya yang mulai menetes.
“Hm, aku tidak menangis  kak.” Aku terkejut. Aku menarik tanganku dan membelai rambutnya. “Dik, aku mengerti perasaamu sekarang.”
“Hahahaa ! aku senang bertemu denganmu. Terima kasih.”
“Hey kenapa kau berterima kasih ?”
“Karena telah menolongku.”
“Kapan ?” tanyaku. Dia malah berlari menjauh dariku. Dengan senyumnnya yang tak pernah kulupakan, dia berlari kearah cahaya itu. bukan seperti cahaya api unggun yang aku buat. Bahkan lebih terang, sampai – sampai menyilaukan mataku. Sekejap dia menghilang.

                                                            ***

Mendengar suara ibu yang memanggil – manggil namaku, aku terbangun. Mataku melihat cahaya terang itu. aku tertawa dan berkata “Hahaha itu hanya lampu !”. tangisan ibu meledak saat melihat mataku terbuka. Dia memelukku erat. “Angie, Angie, kamu sekarang aman disini sayang. Maafkan ibu.” Aku bingung. Aku melihat ayah di samping kiriku.
“Kenapa ibu menangis? Maafkan aku ibu, ayah.”
“Tidak, ibu yang minta maaf. ibu melupakanmu. Ibu hanya memikirkan keinginan ibu. Maafkan ibu nak...”kata ibu.
“Iya, ayah juga minta maaf.” kata ayah.
“Sudahlah, yang egois itu aku. Aku iri dengan adikku sendiri.”
Pernyataan itu membuatku seakan membuka mataku. Kalau aku ini sangat bodoh. Aku tak dapat peka terhadap mereka yang menyayangi aku. Aku tak melihat kebaikan mereka terhadapku, aku bodoh. Aku sangat bodoh !!!!!!!
Aku malah berpikir yang tidak – tidak.
Aku sangat menyesal.
Benar jika aku sangat egois, aku hanya memikirkan kebutuhanku. Aku tidak memikirkan perasaan ayah, ibu, dan terutama adikku. Sesungguhnya mereka menyayangiku. Jika aku dapat memutar waktu, aku takkan mau mencoba terbang setinggi itu. takkan mau.
Beberapa bulan berikutnya, adikku lahir. Sangat cantik. Dia diberi nama Jessie Dim. Sangat menawan.
Enam tahun kemudian, dia tumbuh menjadi anak yang cantik.
Saat itu aku dan keluargaku sedang liburan di sebuah desa yang indah. Aku sangat menikmati perjalananku. Begitu pula adikku. Dia terlihat sangat antusias. Sesampainya aku disana. Aku dan keluargaku tinggal di sebuah pondok. Keesokan harinya aku terbangun di pagi yang cerah. Sejuknya embun membuatku ingin keluar pondok. “Sejuknya hari ini !!!” kataku. Tiba – tiba terpikirkan olehku teriakan ibu yang selalu membangunkanku saat pagi menjelang. Tapi dimana mereka ? aku mencari mereka disetiap ruang dipondok, tapi tak jua ku temukan. Aku keluar pondok dan berlari. Aku menangis. Aku takut jika aku ditinggal sendirian. Oh tidak.
Akhirnya ku temukan tempat hangat dengan api unggun ditengahnya. Disekitarnya ada mereka yang aku cari. Mereka tersenyum melihatku. Adikku memanggilku “Kak, kemarilah, kau hampir saja tertinggal sarapan !” tangisanku terhenti. Aku senang melihatnya tersenyum. Aku duduk disebelahnya. Setelah itu, ibu dan ayah mengambil bahan makanan yang akan dimakan bersama.
 Jessie, adikku mengeluarkan air mata. “Hey, kenapa kau menangis Little Jess ?” tanyaku bingung. Aku menghusap air matanya.
“Oh, aku tidak menangis, kak. Aku hanya senang memiliki kakak sepertimu. Terima kasih kak”
“Maksudmu ?” kataku, mendengar hal itu dia hanya tersenyum.
Ketika aku memikirkan hal tersebut. Aku ingat akan suatu hal. Semua ini sepertinya aku sudah pernah lakukan. Ya, saat aku bermimpi. Mimpi dalam kritisku. Seperti aku merasakan sakitnya sayapku setelah ku terjatuh... Ini kah yang dimaksud Malaikat Setengah sayap?

THE END



Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Labels

Advertisement


Mohon tunggu sebentar ...
Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Ao No Sekai -Metrominimalist Johanes Djogan- Powered by Blogger - Designed by Kikye ON -