- Back to Home »
- About Author »
- Meja di sudut ruangan yang kusuka...
Posted by : Kikye Octhaviananda
Feb 17, 2012
Perempuan itu membetulkan posisi duduknya.
“Aku baru dua kali kesini. Pertama
tiga hari lalu, dan duduk di meja ini,” katanya. Aku mengingat tiga hari yang
lalu, memang aku tidak ngopi di sini. Aku ke rumah teman di luar kota. “Dan
sore ini, ternyata tempat ini enak juga ya…,” lanjutnya.
“Aku sering ke sini,” jawabku
seolah menyiratkan di meja inilah tempatku!
“O…ya?”
“Hampir setiap sore. Dan duduk di
sini.”
“Selalu di sini?” tanya perempuan
itu lagi.
“Ini tempat yang terlindung,”
jawabku sambil melirik ke pot-pot bunga yang berjejer mengelilingi sudut
ruangan tempat favoritku. “Tidak terlihat tetapi bisa melihat siapa saja yag
masuk.”
“Pilihan tepat. Lalu kenapa tadi
aku mengejutkanmu?”
Sialan! Rupanya dia tahu kalau aku
tadi sangat terkejut melihat kedatangannya.
“Lihat anak-anak itu! Mereka
membuatku tidak menyadari ada seseorang telah berada di depanku,” jawabku
sekenanya. Perempuan itu tersenyum. Giginya terlihat sangat terawat.
“Maaf, kita belum kenalan, Oka…”
kusodorkan tangan. Dia menyambut tanpa ragu.
“Jenny.”
“Baru di kota ini?”
“Betul. Aku tinggal bersama saudara
sepupu di ujung jalan ini,” jawabnya.
Setelah berkenalan itulah,
pembicaraanku dan Jenny berlangsung lancar. Bahkan kini terlihat bakat asliku;
agresif dan suka memutar balik logika kalimat lawan bicara. Tak terasa hampir
dua jam, aku dan Jenny terlibat pembicaraan tanpa arah. Ringan tetapi aku tahu,
Jenny sangat suka. Bahkan dengan gayanya yang khas Jenny menceritakan kondisi
keluarganya di Jakarta yang berantakan. Ayahnya harus balik ke Singapura
sedangkan ibunya tetap tinggal di Jakarta, serumah dengan pria selingkuhannya.
Aku menghela napas panjang dan dalam. Dari dulu, peroblematika hidup kota besar
tak jauh bergeser. Cinta, uang, pengkhianatan….klise! Bentakku dalam
hati.
Hujan di luar sedikit mereda.
Tetapi jalanan mulai gelap. Temaram lampu kota, sekuat tenaga menembus
dinginnya udara basah. Kulihat Jenny semakin menikmati suasana, seolah ingin
melepaskan beban yang puluhan tahun menimbun kebebasannya.
“Apa tidak terlalu malam?” kataku
mengingatkan.
“Aku masih suka di sini. Oka
keberatan?”
Aku menggeleng.
Akhirnya aku melanjutkan pertemuan
itu hingga larut malam. Jenny memang luar biasa dengan segala permasalahan
hidupnya. Diceritakan dengan detail, mungkin tanpa tertinggal secuilpun. Aku
menikmatinya. Keliaran pikiranku menangkap cerita Jenny dengan penuh semangat. Ini
ide hebat! Pikirku.
Hingga pagi. Tetapi tidak di coffe
itu lagi. Kutemukan tubuhku, lunglai dalam pelukan Jenny. Malam yang penuh
gerimis telah membuka segala cerita, menimbun segala duka. Ini sisi kreatifku
yang terkadang muncul tanpa kusadari. Maaf…
* * *
Kubatalkan semua rencana yang telah
kususun rapi sejak semalam. Ke rumah teman, lantas mampir ke perpustakaan kota,
dan ngopi di tempat biasa. Semangatku mendadak terbang menyelinap di sela
mendung yang membekap matahari pagi. Kini, gelapnya langit benar-benar membunuh
ketenangannku. Lantas mengumbar kecemasan yang sangat hebat. Aku tidak tahu
harus melakukan apa untuk menyingkirkan kenyataan mengerikan akan mengusik
kenyamanan pagiku. Mungkin juga kenyamanan seluruh usia hidupku.
Kubaca koran pagi; Jenny bunuh
diri!
Seorang perempuan, tengah malam, ditemukan tewas
tergeletak di pinggir rel kereta dekat gerbang masuk kota. Diduga, perempuan
itu menabrakkan diri ke kereta barang yang melintas dengan kecepatan tinggi.
Polisi berhasil menemukan indentitas dalam tasnya, korban bernama Jenny, 27
tahun, warga Jakarta yang baru beberapa hari tinggal di kota ini…Kulipat koran
itu, napasku seolah berhenti sesaat. Tetapi jantungku berdegub jauh lebih
kencang. Itu perempuan yang bersamaku kemarin malam!
Aku membaca berita singkat itu
sekali lagi. Sama. Aku yakin itu Jenny! Tetapi kenapa dia melakukan hal bodoh
itu? Kuhisap rokok sekedar menenangkan pikiran. Tetapu justru malah blingsatan
dan menyiksa. Entah apa yang sedang terjadi dalam pikiranku, aku tidak tahu.
Sedih. Takut. Bersalah. Semua jadi satu! Apalagi ketika paragraf terakhir
berita itu kubaca; hasil visum tim dokter menyatakan kalau korban sedang hamil
dua bulan. Keringat dingin meluncur tak tertahankan lagi.
Apa karena kehamilannya itu membuat
Jenny nekad? Berpuluh ingatan singkat tentang Jenny memenuhi pikiranku. Aku
terduduk. Lemas. Kurasakan angin dingin menyelinap menggerakkan dedaunan di
luar dan menelusup melalui celah jendela. Kemarin malam, seolah tanpa beban,
Jenny menjelaskan sebagian peristiwa hidupnya.
“Kau tidak menyesal?” tanyaku.
“Lama sekali aku tidak mengenal
perasaan itu.”
“Kenapa?”
“Kedua orang tuaku, seolah
mengajarkan jika penyesalan adalah bentuk pengingkaran,” Jenny menerawang
kosong. Aku yakin, ada beban teramat berat menggunung dalam batinnya.
“Rupanya ada bagian masa lalu yang
menyakitkan?”
“Bukan sebagian hampir seluruhnya.
Semua peristiwa terjadi pada diri kita seolah diluar rencana baik yang kita
susun. Aku tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan rangkaian peristiwa itu.
Jadi, suka atau tidak, harus dijalani,” jelas Jenny sangat dalam.
“Meski peristiwa itu akibat ulah
kita sendiri?”
“Hanya persoalan cara pandang
saja,” tukasnya pendek.
Selanjutnya, tanpa beban secuilpun
menganggu perasaannya, Jenny menceritakan pertengkaran kedua orang tuanya pada
suatu malam. Pertengkaran yang hebat! Ketika itu, Jenny tidak mengerti pangkal
permasalahan sebenarnya. Yang dia lihat, ayahnya menampar ibunya. Ibu lebih
berani lagi, membantah dan melontarkan kalimat kasar. Bukan layaknya
suami-istri. Jenny menangis menyaksikan semuanya dari balik jendela. Sejak itu,
ayahnya jarang pulang sedangkan dia sendiri pergi menumpang rumah teman, agak
jauh dari rumahnya.
Terakhir, Jenny mendapat kabar,
kalau ayahnya telah pulang ke negara asalnya, Singapura. Sedangkan ibunya pergi
bersama lelaki selingkuhannya. Jenny sendiri…merasa menemukan jalan hidupnya
danm menikmatinya seolah ingin membunuh peristiwa menyakitkan yang merubah
jalan hidup normalnya itu.
“Dan aku hamil,” kata Jenny pelan.
Aku tak tahu harus bersikap apa. Kalimat itu seakan ditujukan kepadaku dan
menanti agar aku mampu mengurai beban hidupnya. Aku tahu, apapun alasannya, ini
adalah kesalahan yang mesti diperbaiki. Tetapi bagaimana caranya? Ternyata
dibalik keceriaan Jenny ketika awal berkenalan, tersimpan peristiwa cukup
berat. Senyumnya mungkin untuk membunuh siksaan beban itu.
Aku tangkap tangan Jenny. Tiba-tiba
kami menjadi sangat akrab.
“Itu alasannya hingga kamu
meninggalkan Jakarta?”
“Kota itu terlalu menyiksa,”
celetuknya pelan.
“Berarti akan lama tinggal di kota
ini?”
“Belum tahu juga. Aku juga nggak
enak dengan sepupuku.”
Begitulah, malam terus merambat
hingga larut membawa pagi. Aku lebur dalam duka Jenny yang mungkin tidak akan
tersembuhkan. Aku sadar, kehadiranku hanya akan melupakan bebannya sesaat. Tidak
akan lama! Tetapi pertemuan singkat itu, terasa begitu bermakna. Apalagi ketika
matahari menyelinap melalui lubang jendela, mengusik tidurku. Kelelahan.
Dan pagi ini…
Kutemukan tubuh yang penuh duka
itu, kini penuh luka. Kuambil rokok, entah batang yang keberapa. Asbakpun telah
penuh. Namun batinku tetap saja blingsatan. Pagi ini benar-benar hancur.
Seperti kalimat Jenny kemarin malam, penyesalan hanyalah wujud pengingkaran.
Memang semua garis peristiwa hidup harus dijalani tanpa protes sedikitpun.
Karena manusia memang tidak layak untuk protes. Dan mungkin saja –aku ragu
menggunakan kata ‘mungkin’—Jenny telah melanjutkan garis peristiwa
kehidupannya. Tanpa menyesal sedikitpun!
Kulirik koran yang terlipat di
meja. Terlihat foto tubuh Jenny, terbungkus kantung warna merah. Dan…dia hamil!
Aku tersentak. Nyaris tersedak. Berdiri. Dan melihat ke arah jendela,
menerawang kosong. Berpuluh kenangan menjejal dalam pikiran. Ketakutanku pun
memuncak. Jenny memang telah meninggal, tetapi bayi itu? Orok yang
dikandungnya? Bisa jadi –meski terlalu dekat jaraknya—aku juga memiliki anak
itu. Karena semalaman…Jenny!
Aku berteriak sendiri. Tanpa mampu menemukan
solusi sedikitpun.
* * *
Kulihat dari balik jendela yang
kusam, gerimis semakin lebat. Secangkir kopi nyaris habis. Empat puntung rokok
tersuruk dalam asbak. Pada meja di sudut ruangan itu, aku duduk sendiri.
Seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi sejak peristiwa itu terjadi, kini aku
memiliki alasan lain untuk duduk di meja itu. Terasa gelas cappucino milik
Jenny belum kering. Perempuan itu seolah terus mengajakku untuk selalu
menemuinya di caffe itu. Kunikmati pertemuan batin yang melegakan itu. Tanpa
penyesalan.
Yang lebih penting, aku selalu
duduk pada meja di sudut ruangan itu untuk menziarai anak batinku dalam
kandungan Jenny. Hal itu harus kulakukan sebagai wujud penyesalan. Maaf…Jenny.
Anak itu terlalu suci untuk menanggung beban garis hidup orang tuanya. Aku
pesan kopi lagi.
Gerimis bertambah lebat.**
-----------------------------------------------